Jumat, 14 Februari 2020

Makalah Halal Haram dalam Islam


MAKALAH
                                    والنجاسات من الأعيان الحلال والحرام؛ والطاهرات

Diajukan kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Fiqh Ekonomi dan Bisnis Islam
Bapak Dr. Ibnu Muhdir, M. Ag. untuk Memenuhi sebagaian Syarat Memperoleh Nilai Tugas Mata Fiqh Ekonomi dan Bisnis Islam

Disusun Oleh:
Mila Alim Bachri 182080100
Mahsun 18208010022
Mudita Sri Karuni 18208010021
Syafrudin 1822080100

PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019

DAFTAR ISI

Halaman Judul.....................................................................................................................   i
Daftar Isi..............................................................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................   1
A.    Latar Belakang........................................................................................................   1
B.     Rumusan Masalah....................................................................................................   3
C.     Tujuan Pembahasan.................................................................................................   3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Umum........................................................................................................   4
B.     Pengertian Barang Halal, Haram, Suci dan Najis Menurut Ahli............................   12
1.      Menurut ............................................................................................................  
C.     Analisis Kritik Terhadap Teori Barang Halal, Haram, Suci dan Najis...................   7
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..............................................................................................................   17
B.     Saran........................................................................................................................   17
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Meyakini dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan adalah definisi Islam yang sesungguhnya. Kesempurnaan iman itu akan berkurang, dan bahkan terbatalkan apabila salah satunya tidak terpenuhi. Seseorang yang hanya mengandalkan keyakinannya, dan mengabaikan aspek lain, bisa digolongkan sebagai aliran kebatinan. Begitu juga dengan orang yang mengaku beriman, tetapi tidak dibarengi dengan ketulusan hati dan pengamalan yang semestinya, maka ia akan tergolong sebagai orang munafiq. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surat Al Baqarah Ayat 8 yang artinya :
 Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah: 8).
Dari situlah menjadikan Islam berbeda dengan aturan hukum konvensional lainnnya. Dimana Islam mengajarkan pengamalan yang mencakup 3 hubungan manusia; hubungan dengan Tuhannya, hubungan dengan dirinya dan hubungan dengan masyarakatnya. Di samping itu,  juga karena ia berkaitan pada dunia dan akhirat. Sehingga pesan-pesan hukumnya akan berkaitan dengan aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalah. Dengan demikian, diharapkan hal itu akan mampu melahirkan keridhaan, ketenangan, kepercayaan, serta kebahagiaan yang abadi, yang mencitacitakan untuk kedamaian abadi dan menyeluruh.
Syekh Sayyid Sabiq dalam memberikan pengantar bukunya, berkata bahwa Allah Swt.. mengutus Nabi Muhammad Saw. dengan membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan, serta syariat yang lengkap dan menyeluruh, yang menjamin bagi manusia kehidupan bersih lagi mulia, dan menyampaikan mereka ke puncak ketinggian dan kesempurnaan. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh risalat Islam adalah membersihkan dan mensucikan jiwa, dengan jalan mengenal Allah serta beribadah kepada-Nya, dan mengokohkan hubungan antara manusia serta menegakkannya di dalam kehidupannya.
Maka dari itu, semua dimensi ajaran islam yang meliputi aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah seharusnya merupakan satu kesatuan dan kebulatan yang utuh dan tidak terpisahkan. Ia terpisahkan hanya dalam tataran diskursus akademik, bukan dalam tataran praktis. Adalah suatu kezaliman, bila seseorang berbuat, semata-mata hanya atas pertimbangan halal dan haram dengan mengabaikan aspek al-husn (yang baik) dan al-qubh (yang buruk) atau menyingkirkan sama sekali aspek al-mahmudah (yang terpuji) dan al-mazmumah (yang tercela).[1] Maka dari itu, apapun yang diajarkan dalam Islam harus terealisasi dengan memenuhi ketiga unsur tersebut.
Untuk membuktikan bahwa Islam itu mengajarkan lahir dan batin, maka tidak terkecuali juga dalam hal aturan konsumsi makanan dikenal istilah halal dan haram, begitupun dalam hal bersuci (thaharah) dikenal dengan istilah suci dan najis. Maka makalah ini akan membahas definisi secara umum berikut dengan kritik analisis teori-teorinya terhait dengan halal, haram, suci dan najis.
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas penulis mengangkat rumusan masalah makalah sebagai berikut :
1.      Apa definisi umum dari halal, haram, suci dan najis ?
2.      Bagaimana barang halal, barang haram, barang suci dan barang najis ?
3.      Bagaimana menurut para ahli terkait teori barang haram, barang halal, barang suci dan barang najis?
4.      Bagaimana analisis kritis terhadap barang halal, barang haram, barang suci dan barang najis ?
C.     Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk menjelaskan definisi umum, bentuk, pendapat para ahli dan analisis kritik terhadap teori barang halal, haram, suci dan najis.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Umum
Masalah halal, haram, suci, dan najis begitu sentral dalam pandangan kaum muslimin, hal ini karena ia merupakan batas antara yang hak dan yang batil, atau lebih jauh antara surga dan neraka. Halal dan haram akan selalu dihadapi oleh kaum muslimin detik-demi dalam rentang kehidupannya. Sehingga menandakan betapa pentingnya kita mengetahui secara rinci batas antara apa yang halal dan apa yang haram. Mengetahui persoalan halal-haram ini kelihatan mudah sepintas, tetapi kemudian menjadi sangat sukar ketika berhadapan dengan kehidupan keseharian, yang kadang menjadi kabur, sulit membedakan mana yang halal dan mana yang haram, najis dan suci, atau bahkan menjadi syubhat, karena tidak termasuk kesemuanyanya, atau karena percampuran semuanya. Berikut Al-qur’an, Hadist, dan  para ahli fiqh menggolongkan benda kedalam perspektif halal, haram, suci, dan najis untuk kepentingan perekonomian :
1.      Halal dan Haram:
a.       Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih; termasuk di dalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat menyembelihnya, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh dimakan.
b.      Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa.
c.       Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya, dagingnya, maupun tulangnya.
d.      Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.
2.      Najis
Najis terbagi menjadi tiga macam, yaitu: najis mukhaffafah, najis mutawassitah dan najis mughallaza.
a.       Najis mukhaffafah artinya najis yang ringan Yang termasuk najis mukhaffafah ialah air kencing anak laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan atau minum sesuatu kecuali air susu ibu (ASI) Cara mensucikan najis mukhaffafah adalah dengan memercikan air pada benda yang terkena najis mukhaffafah.
b.      Najis mutawassitah artinya najis yang sedang. Yang termasuk najis mutawassita (najis sedang) adalah: 1) Bangkai binatang darat yang berdarah sewaktu hidupnya. Yang dimaksud dengan bangkai adalah binatang yang mati karena tidak disembelih, atau disembelih tetapi tidak menurut aturan shari’ah islam. Yang tidak termasuk najis adalah bangkai belalang dan ikan, tanduk, bulu, dan kulit binatang, seperti belalang, bulu domba, dan semacamnya. 2) Darah. Segala jenis darah adalah najis. Jika darah itu sedikit maka darah itu dapat dimaafkan seperti darah nyamuk yang melekat pada badan atau pakaian, darah bisul, dan darah karena luka kecil. 3) Nanah, yaitu darah yang tidak sehat dan sudah membusuk. 4) Kotoran manusia dan kotoran binatang Semua benda baik yang padat maupun yang cair yang keluar dari kubul atau dubur manusia ataupun binatang hukmnya najis kecuali mani 5) Arak (Khamr) Semua minuman keras yang memabukkan termasuk benda najis.
c.       Najis mughallazah artinya najis yang berat. Yang termasuk najis mughallazah (najis berat) adalah air liur serta kotoran anjing dan babi.
Untuk benda-benda atau barang-barang yang suci, adalah barang-barang yang halal, bermanfaat, dan tidak merugikan bagi manusia.

B.     Penggolongan Benda dalam Perspektif Halal, Haram, Suci dan Najis Menurut Para Ahli
1.      Iman 4 Mazhab
Pada dasarnya ke 4 Mazhab berpendapat bahwa barang-barang atau benda yang najis, halal, dan haram, sama dengan apa yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Namun tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan pendapat. Contohnya seperti: Dalam sebuah hadis  riwayat Abu Hurairah disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anjing menjilat wadah seseorang, maka keriklah (bekasnya) lalu basuhlah wadah itu tujuh kali.” (HR Bukhari dan Muslim). ada tiga opsi pandangan ulama menyikapi status najis atau sucikah binatang anjing,  yaitu sebagai berikut: 
Pertama, para ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa anjing najis secara kesuluruhan, baik segala yang kering dari anggota tubuhnya atau pun yang basah. Kedua, ulama Mazhab Hanafi berpandangan status anjing itu pada dasarnya suci kecuali bagian yang basah dari anjing seperti kencing, keringat, liur, dan segala yang basah hukumnya adalah najis. 
Ketiga, menurut ulama Mazhab Maliki, status anjing suci secara keseluruhan tidak najis, baik bagian yang kering dari hewan mamalia itu ataupun yang basah. Dalam pandangan mereka, hukum bersuci sebagaimana hadis di atas tersebut, hanya berlaku khusus untuk membersihkan bejana, wadah, periuk, atau apapun yang dipakai minum atau makan anjing.   
Dalam kitab asy-Syarkh ash-Shaghir ma’a Hasyiyat as-Shawi Alaihi, disebutkan bahwa jika ada anjing yang menjilati periuk sekali atau lebih, maka dianjurkan untuk membuang air atau makanan itu kemudian disunahkan membersihkan periukk tadi tujuh kali, seperti tuntunan hadis atas dasar ta’abbudi, meski sebenarnya anjing itu sendiri suci. Ulama fiqh berbeda pendapat tentang jenis makanan yang dianggap buruk atau kotor atau menjijikkan.
Adapun Menurut sebagian ulama diantaranya imam Malik, yang termasuk dalam katagori binatang kotor (khabaits), yang haram dimakan, hanyalah yang secara tegas disebutkan di dalam nash, seperti bangkai, darah, bangkai babi, anjing, hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Sedangkan binatang yang menurut jiwa kotor atau menjijikkan, tetapi tidak disebutkan di dalam nash secara tegas, maka halal untuk dimakan serta diperjual belikan. Imam Malik membolehkan memakan rayap, cacing tanah, dan binatang kotor lainnya, karena tidak ditegaskan keharamannya dalam nash.
2.      Imam Abu Hamid al-Ghazali
Rincian harta-benda yang keharamannya karena adanya sifat yang terdapat dalam zat benda itu sendiri yang ada di muka bumi ini ada tiga macam:
Pertama, hasil tambang, yakni bagian-bagian bumi atau segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi (yang berujud benda mati). Benda-benda seperti ini diharamkan memakannya jika ia membahayakan tubuh atau jiwa manusia, seperti gas beracun.
Kedua, tumbuh-tumbuhan (benda nabati). Dari golongan benda ini dihalalkan memakannya, kecuali tumbuh-tumbuhan yang dapat menghilangkan akal manusia, atau merusak kesehatan manusia. Tumbuh-tumbuhan yang menghilangkan akal manusia seperti ganja, khamr, opium, dan segala tumbuhan yang memabukkan. Yang menghilangkan nyawa manusia seperti racun (tumbuh-tumbuhan beracun), dan yang merusak kesehatan manusia adalah obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan yang digunakan pada tidak waktunya atau over dosis.
Ketiga, binatang atau benda hayawani. Perihal ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu, yang boleh dimakan (halal) dagingnya, dan binatang yang tidak boleh dimakan (haram) dagingnya. Binatang yang halal tetap menjadi halal apabila cara penyembelihannya dilakukan secara syari’at tertentu yang di dalamnya wajib pula dijaga syarat-syarat penyembelih, alat penyembelihan, dan tempatnya. Jadi binatang yang disembelih tidak menurut aturan syariat agama atau yang mati dengan sendirinya menjadi haram untuk dimakan, melainkan dua bangkai, yakni, ikan dan belalang.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kehalal-haraman suatu benda di muka bumi ini sangat berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Yakni maqasid al-khamsah yang terdiri: tetapnya agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Sesuatu akan dinyatakan halal bila ia mendukung tetapnya kelima maqasid al-khamsah itu pada diri manusia, akan menjadi haram bila ia menjadikan terganggu.
Sedangkan harta-benda yang keharamannya sebab adanya sesuatu yang datang kemudian atau dalam cara memperolehnya, ini berarti zat barang tersebut adalah halal. Hal ini diperinci memjadi beberapa bagian:
Pertama, sesuatu yang diperoleh karena memang tidak ada pemiliknya, seperti berbagai benda tambang, menghidupkan tanah mati, dan berburu. Semua itu halal hukumnya, dengan syarat bahwa apa yang diambil itu tidak dikhususkan untuk kehormatan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan, dan barang-barang tersebut tidak dimiliki oleh “seseorang” yang dilindungi oleh hukum.
Kedua, sesuatu yang diambil secara paksa dari siapa saja yang dianggap tidak ada kehormatan diri baginya. Seperti: fa’i, ghanimah, dan semua harta orang kafir yang memerangi orang Islam. Semua itu halal bagi orang Islam setelah diambil sepertlima dari harta itu untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan telah dibagi secara adil kepada mereka yang berhak menerimanya. Tetapi harta orang kafir yang telah dilindungi oleh hukum, maka tidak boleh diambil.
Ketiga, sesuatu yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan secara suka sama suka (dengan cara tukar menukar). Harta benda yang dihasilkan dengan jalan seperti ini halal hukumnya apabila telah terpenuhi syarat-syarat yang benar sesuai dengan tuntutan syari’at, dan telah dihindari syarat-syarat yang merusakkan.
Keempat, harta yang diperoleh bukan dengan usaha, seperti harta hasil warisan. Harta seperti ini halal hukumnya, apabila yang meninggal dunia (yang mewariskan) dahulu memperolehnya dengan jalan yang halal pula. [2]
3.      Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi
Menurut beliau, berdasarkan al-Qur’an dan hadis sangat simple dan jelas. Segala sesuatu yang baik-bagi tubuh, akal dan jiwa – maka hukumnya halal. Begitu sebaliknya, segala sesuatu yang mendatangkan mudarat (bahaya) bagi kesehatan: badan, akal, dan jiwa, hukumnya adalah haram. Menurut beliau juga, Islam tidak mengharamkan perdagangan kecuali perdagangan yang mengandung unsur kedzaliman, penipuan, eksploitasi, atau mempromosikan hal-hal yang dilarang. Perdagangan khamr, ganja, babi, patung, dan barang-barang sejenis, yang dikonsumsi, distribusi atau pemanfaatannya diharamkan, perdagangannya juga diharamkan Islam. Dan setiap penghasilan yang didapat melalui praktik itu adalah haram dan kotor.[3]
4.      Shaikh El-Sayyid Sabiq At-Tihami
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa makanan halal adalah apabila al-Qur’an maupun hadis menjelaskannya dan tidak melarangnya. Namun makanan halal yang dijelaskan teks agama tidak mencakup seluruh makanan yang ada. Karena itu para ulama berijtihad sesuai kaedah: ”al-Ashlu fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla ad-dalilu ‘ala tahrimihi” (Hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah/boleh kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya). Secara umum al-Qur’an maupun hadis memberikan kriteria bahwa makanan halal itu adalah thayyib (halalan thayyiban). Maksud halalan thayyiban, menurut Sayyid Sabiq, terangkum dalam tiga hal: pertama, sesuai selera alamiah manusia. Kedua, bermanfaat dan tidak membahayakan tubuh manusia. Ketiga, diperoleh dengan cara yang benar dan dipergunakan untuk hal yang benar. Maka beliau menjelaskan kriteria makanan yang halal sebagai berikut:
Pertama, makanan nabati berupa tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan, selama tidak membahayakan tubuh. Kedua, minuman seperti air, susu (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya), kopi, cokelat. Ketiga, makanan hewani terdiri dari binatang darat dan air. Hukum binatang darat baik liar mapun jinak adalah halal selain yang diharamkan syariat. Begitu juga binatang air, dalam pendapat yang paling sahih, adalah halal kecuali yag membahayakan. Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW ketika ditanya tentang bersuci dengan air laut, beliau menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkai binatangnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i).
C.    Analisis Kritik Terhadap Teori Barang Halal, Haram, Suci dan Najis

BAB III
A.    Kesimpulan
B.     Saran



[1] M. Yunan Yusuf, Deskripsi Mata Kuliah Studi Islam Komprehensif/ Sistem Ajaran Islam, (Universitas Islam As-Syafiiyah, Program Doktor Studi Islam, Program Studi Ilmu Dakwah, Jakarta, 2013), hlm. 1.
[2] Al-Ghazali, Abu Hamid, Kitab al-Halal wa al-Haram min Ihya’ ‘Ulum al-Din, Cet. III, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1993, hlm. 13.
[3] Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, Solo: Era Intermedia, 2000, hlm. 204.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pujut

Semoga Bermanfaat